Lalu kenapa jika aku diam?
Lalu kenapa jika aku diam?
Apa salah jika aku tak bisa menjelaskan?
Tidak kah kau mengerti aku tak bisa mengungkapkannya?
"Diam mungkin terlihat tidak baik-baik saja bagimu, tapi diam adalah caraku berdamai dengan keadaan"
Beberapa hari yang lalu disadarkan kembali akan hal ini oleh salah satu klien. Sudah beberapa bulan ini saya menangani klien yang mengalami sodomi di usianya yang masih tergolong muda. Anak ini cenderung introvert, pendiam, dan sulit berkomunikasi. Sangat sulit untuk membuatnya berbicara, padahal kami butuh keterangannya supaya pelaku bisa mendapat hukuman yang sesuai. Segala cara dilakukan, mengajaknya bermain, menggambar dan memintanya memilih gambar yang sesuai kondisinya, mencoba melucu agar dia merasa nyaman, dan lain sebagainya. Akan tetapi anak ini tetap tak banyak bicara dan hanya memberikan jawaban singkat, termasuk saat berbicara dengan orangtuanya. Orangtuanya bingung, kadang marah karena anaknya tak mau bercerita. Saya pun ikut bingung dan cemas karena saya tidak tahu apa yang ada di pikirannya, saya hanya bisa menduga dari apa yang saya lihat.
Minggu lalu kami harus memberikan psikoedukasi kepada anak ini, supaya anak tidak menjadi pelaku kedepannya. Akan tetapi, saat itu saya tidak yakin anak tersebut menangkap apa yang saya maksud, karena dia hanya diam dan tersenyum tipis setiap kali saya melempar lelucon. Hingga beberapa hari setelahnya saya mempertemukannya dengan psikolog yang bertanggung jawab untuk kasusnya. Saya menemaninya saat psikolog sedang berbicara dengan ibunya. Itu kali pertama saya punya waktu yang lama untuk mengobservasinya. dan.....saya menemukan kondisi yang sangat berbeda saat dia bermain dengan adiknya. Dia seperti orang yang berbeda, dia bisa tertawa lepas, menjahili adiknya, dan memberikan respon yang sangat baik ke adiknya. Dia terlihat tidak memiliki beban. Saat itu, saya tersenyum, menyadari hal yang mungkin sudah saya lupakan, bahwa setiap orang punya definisi "nyaman" masing-masing. Saat itu saya tersadar betapa berat beban anak ini, setiap hari ditanyakan apa yang terjadi padanya, mungkin ada rasa bersalah dan malu juga, marah yang tak tahu harus disampaikan ke siapa, sedih yang tak tau harus diungkapkan dengan cara apa. Saat bersama adiknya yang masih berumur 3 tahun, mungkin tekanan itu tidak ada. Dia tetap bisa menjadi dirinya sendiri. Ketika bertemu dengan psikolognya pun, ternyata anak ini ingat akan psikoedukasi yang diberikan. Hal yang tentunya membuat saya lega karena ternyata "diamnya bukan berarti dia tidak menyimak".
Mungkin kita berpikir "ya kalau punya masalah cerita". Tapi tidak semua orang bisa dengan mudah melakukan itu. Ada orang yang butuh didekati, diperhatikan dan dipahami tanpa dia harus bercerita terlebih dahulu. Setiap orang punya cara yang berbeda untuk bisa berdamai dengan masalahnya. Tidak ada yang salah dengan menjadi introvert ataupun ekstrovert, itu hanya soal kepribadian. Pendekatannya saja yang berbeda. Perhatian tidak selalu dalam bentuk bertanya akan masalah, tapi mungkin cukup dengan selalu ada tanpa menjatuhkan dugaan yang akhirnya membuat kita salah bersikap. So, yuk berlatih memahami dari sudut pandang orang lain bukan hanya dari standar pribadi kita terhadap suatu situasi.
Komentar
Posting Komentar